Quantcast
Channel: Ngobrolin Film
Viewing all 40 articles
Browse latest View live

14 Film Indonesia Favorit Ngobrolin Film di Tahun 2014

$
0
0

Berdasarkan situs filmindonesia.or.id, ada 113 film Indonesia yang terdaftar tayang di tahun 2014 kemarin -- tapi kayaknya yang tayang komersil cuma 102 deh --, dan gue menonton 31 di antaranya. Tahun ini menjadi tahun di mana gue menonton cukup banyak film Indonesia dan senangnya, gue tidak melewatkan film-film yang memang pengen gue tonton. Dan yang lebih menggembirakan adalah banyak sekali film bagus. Tapi entah mengapa, ngga ada satu film yang bener-bener memorable dan ngena di hati gue seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kalau di tahun 2009 gue punya Pintu Terlarang, 2010 ada Hari Untuk Amanda, di 2011 ada Catatan Harian Si Boy, 2012 ada Cita-Citaku Setinggi Tanah, dan di 2013 ada Finding Srimulat, maka di tahun 2014.. Ngga ada siapa-siapa. Banyak film yang gue suka, tapi ngga ada yang bener-bener membekas di hati. Sedih juga sih..

But anyway, ini dia 14 film Indonesia favorit gue di tahun 2014, in no particular order, hanya berdasarkan tanggal rilisnya saja.

Tahun 2014 diawali dengan sangat gemilang oleh Comic 8 yang tak diduga-duga sangat menyenangkan untuk ditonton. Komedinya pas, action-nya pas, semuanya pas, dan.. film ini punya twist! Udah lama rasanya ga nonton film action comedyyang menghibur seperti ini. Ngga heran, sampai di penghujung 2014, Comic 8 menduduki peringkat nomor satu di jajaran box office film Indonesia dan akan dibuat sekuelnya.

Berikutnya di bulan yang sama ada KILLERS, film kolaborasi Indonesia-Jepang yang disutradarai The Mo Brothers. Sama seperti karya mereka sebelumnya, Rumah Dara, KILLERS juga merupakan film psikopat gila. Film yang bikin lo ngga nyaman waktu nonton. Film yang bikin lo tutup mata karena ngga tega. Highlight film ini buat gue tentunya adalah Kazuki Kitamura dengan tatapan matanya yang menghunus dan menghantui.

Film Indonesia yang tayang di awal tahun sangat memuaskan gue. Setelah Comic 8 dan KILLERS, ada Street Societyyang sangat tidak disangka-sangka ternyata sangat keren dan menghibur. Highlight-nya pastilah Chelsea Islan yang bermetamorfosis menjadi “the next big star”.

Salah satu highlightterbesar film Indonesia di tahun 2014 ini tentunya adalah The Raid 2: Berandal. Masih mengajak Iko Uwais dan Yayan Ruhian, Gareth Evans juga memberikan suguhan aksi dengan formula yang tak jauh berbeda dengan pendahulunya, tapi dosisnya ditingkatkan. Hasilnya ya nggak heran, The Raid 2: Berandal semakin dipuji-puji dunia lokal dan internasional.

Me & You vs the World. Hmm. Agak dilematis sesungguhnya memasukkan film ini ke list favorit gue di tahun 2014 ini. Film ini sebetulnya ngga punya faktor istimewa apapun. Tapi film ini masih membekas di ingatan gue karena Rio Dewanto memainkannya dengan tepat, dan dia sangat loveabledi film ini. Belum lagi dialog favorit gue di tahun 2014 dipersembahkan oleh film ini. “Kamu bahagia?” | “Bahagia. Tapi ngga sempurna.” | Oh my die die die

Jalanan dan Selamat Pagi, Malam. Dua film tentang Jakarta yang dirilis berdekatan dengan hari ulang tahun ibukota tercinta. Keduanya sama-sama istimewa dalam kesederhanaannya. Jalanan membuka mata, sementara Selamat Pagi, Malam, merangkai kisah yang berbeda-beda menjadi satu tautan. Pada akhirnya, keduanya mempersatukan warga dan realita kotanya yang tercinta.

Mall Klender. Sebagai pecinta karya-karya Hitmaker Studios, walau seringkali juga gue masih tutup mata, tapi Mall Klender masih memberikan atmosfir yang sama yang kadang gue rindukan. Cukup lebay di beberapa adegan, tapi beberapa lainnya tetap berhasil membuat gue merinding ketakutan. Daaaannnn…. Highlightfilm ini adalah… jengjengjengjeng. Denny Sumargo yang terlihat cakepan dan doi pake handuk doang, men, di sini, hahaha!

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, pemenang film terbaik FFI 2014, wohoo!! Se, sapa? Beta Maluku! #teamKakSani. Walau ini film panasnya kelamaan, tapi ending-nya juara, dan Shafira Umm ngga kalah keren sama Chicco Jerikho. Berperan sebagai istri yang bawel, Shafira Umm dan dialog-dialognya yang repeatable banget bikin gue pengen dan pengen nonton film ini lagi, hanya untuk mengulang-ngulang dialognya hingga hapal.

Seputih Cinta Melati dan Hijrah Cinta. Dua dari empat film lebaran tahun ini berhasil mencuri hati. Di luar posternya yang buruk rupa, Seputih Cinta Melati membuat gue jatuh cinta dan menangis tersedu-sedu tentunya. Sementara Alfie Afandy di Hijrah Cinta mengejutkan dengan perawakan, suara, dan aktingnya yang sangat menyerupai Uje asli. Sayang banget dia belum berhasil mendapatkan Piala Citra.

Aku, Kau, dan KUA juga termasuk salah satu film yang ngga gue duga-duga bisa membuat gue suka. Film ini juga yang membuat gue sadar betapa kerennya Monty Tiwa sebagai sutradara. Filmnya ramai, tapi ia tidak tenggelam dalam keramaiannya. Masing-masing pemain bisa tetap menonjol sesuai porsinya, dan itu yang paling gue suka dari film ini.

Masuk ke Desember, ada banyak film-film besar yang menanti. Salah satunya adalah Pendekar Tongkat Emas yang memang uda gue tunggu-tunggu dari awal tahun. Hasilnya ngga mengecewakan. Gue berdecak “keren, keren, keren, keren” ngga kehitung berapa kali selama menonton filmnya. Mulai dari Christine Hakim yang keren, Reza Rahadian yang nyebelin di awal tapi terus jadi keren juga, sampe adegan tarung, dan Sumba yang kerennya setengah idup.

Daaaannn.. penutup yang manis di akhir tahun. Assalamualaikum Beijing. Again, ngga gue duga-duga, ternyata Assalamualaikum Beijing bisa memberi rasa sebegitu dalamnya di hati gue. Filmnya manis, Revalina S. Temat yang matang, Laudya Chyntia Bella menggemaskan, dan Morgan Oey yang jauh lebih menyenangkan dilihat ketika berakting ketimbang bernyanyi “you know me so well”.

Itu 14 list film Indonesia favorit gue di sepanjang 2014 ini. Tapi… Ada dua film lagi yang deserve a special mention terpisah dari list ini. 


Yang pertama adalah  7 Hari 24 Jam, simply because ini adalah film come back-nya Dian Sastro dan ini adalah film romcom dewasa pertama Indonesia setelah sekian lama film romcom Indonesia hanya  bermain di wilayah remaja. 7/24 memperkenalkan kita pada Dian Sastro yang komikal, serta dialog-dialog lucu dan ndableg yang disajikan lewat perbincangan sehari-hari pasangan suami istri yang sama-sama terkapar di rumah sakit.

Yang ke-2 adalah my guilty pleasure of the year: Runaway. Ceritanya banyak bolongnya, akting pemainnya juga nauzubillah, apalagi si Al. Tapi Al, oh Al. Dialog cheesy dan muka datar lo entah kenapa masih kebayang banget di otak gue, hahaha. Dan untuk itulah, Runaway perlu mendapat special mentiondi list gue kali ini.

So, that’s my list from 2014. What about you?

6 film Indonesia yang paling ditunggu-tunggu di 2015

$
0
0

Tahun baru, sudah ada beberapa bocoran film Indonesia baru yang ngga sabar pengen gue tonton tahun ini. Mereka adalah…

Film debut Lukman Sardi sebagai sutradara and supposedly film berikutnya dari Chelsea Islan setelah Street Society. Trailer-nya keren, dan Chelsea terlihat keren sekali di situ. Penasaran! Tayang 15 Januari 2015.


Hijab
Tayang bersamaan dengan Di Balik 98, Hijab menawarkan genre yang berbeda dari Di Balik 98. Film yang ringan, disutradarai Hanung Bramantyo, diperankan oleh Zaskia Adya Mecca, dan bercerita tentang para hijabers yang lagi ngetren belakangan, sebetulnya Film Hijab jadi makanan yang empuk banget untuk penonton Indonesia. Tapi pertanyaannya, apakah para hijabers akan datang ke bioskop? Itu yang perlu kita cari tahu…


Kacaunya Dunia Persilatan
Action-comedy semodel Comic 8, trailer-nya pun terlihat kacau seperti judulnya, tapi kacau yang menyenangkan! Yang main? "Orang-orang gila". Ada Tora Sudiro, Amink, dan Joe P Project. Tayang 22 Januari 2015.


Salah satu film yang paling gue tunggu-tunggu tahun ini. Romcom dari sutradara (Ody C. Harahap) dan aktor favorit gue (Reza Rahadian), serta aktris cantik yang serba bisa, Adinia Wirasti. Trailer-nya terlihat sangat menjanjikan dan gue ngga bosen-bosen walau udah nonton beberapa kali. Ngga sabar banget, euy! Tayang 12 Februari 2015.


Alasan gue udah ngga sabar banget pengen nonton Filosofi Kopi adalah karena Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. That’s it. Ngeliat foto-foto Chicco jadi baristaoh wow sekali, dan beragam upaya marketingyang mereka lakukan juga menarik perhatian gue. Tapi yang terutama: Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. So, April, please come faster.

A Copy of My Mind
Film terbaru Joko Anwar. Belum ada detail lebih lanjut tentang filmnya dan kapan tayangnya, tapi dari teaser posternya, filmnya terlihat menarik. Lagipula, it's Joko Anwar's, people. How can it not be interesting?

Itu dia 6 film Indonesia tahun 2015 yang udah ngga sabar pengen gue tonton. Kalo lo?

Review: Assalamualaikum Beijing (Guntur Suharjanto, 2014)

$
0
0

4 dari 10 film Indonesia terlaris di tahun 2014 adalah film yang bernuansa Islami, dan Assalamualaikum Beijing termasuk salah satu di antaranya. Tayang sebagai film penutup di akhir tahun kemarin, sebetulnya gue ngga menyangka kalau Assalamualaikum Beijing bisa "memuaskan" gue. Ceritanya bisa dibilang standar sinetron banget. Tapi itu semua ngga masalah selama film tersebut bisa memberikan rasa ketika lo selesai menontonnya.

Diceritakan Asma (Revalina S. Temat) baru saja putus cinta karena calon suaminya, Dewa (Ibnu Jamil), kedapatan menghamili anak orang. Sebagai muslimah yang baik, Asma lebih memilih sakit hati ketimbang melihat masa depan dunia tidak memiliki seorang ayah. Katanya, “Cinta itu menjaga. Tergesa-gesa itu namanya nafsu belaka.” Maka ia pun menyuruh Dewa untuk menikahi perempuan malang itu.

Rejeki jangan ditolak, kebetulan siapa yang tahu. Asma dikirim ke Beijing untuk menjadi koresponden salah satu media Indonesia di sana, dan bertemu dengan pria Cina yang membuatnya berbunga-bunga, Zhong Wen namanya (Morgan Oey). Singkat cerita, mereka sama-sama jatuh cinta. Tapi perjalanan cinta mereka tidak mudah. Asma dan Zhong Wen terbentur masalah agama, Dewa yang mengejar Asma hingga ke Cina…. dan penyakit Asma. Jrengjengjengjengjeng.

Tidak perlu bertanya akan seperti apa ending Assalamualaikum Beijing nantinya, karena semuanya bisa kita lihat di trailer-nya langsung. Tapi… Itu tidak menghalangi air mata untuk tetap turun dan jatuh berkali-kali ketika menonton filmnya. 


Highlight terbesar dalam film ini tentunya adalah para pemainnya, dan terutama Laudya Chyntia Bella yang berperan sebagai Sekar, sahabat Asma di Beijing. Perannya ngga penting, bahkan ngga gue masukkin di sinopsis singkat di atas. Tapi…. Kehadirannya di sini jadi cahaya di tengah kegelapan, oase di padang pasir, dan penghibur dalam kekelaman. Di Assalamualaikum Beijing, Bella tampil sangat lively, penuh semangat, lucu, ngegemesin, bikin semua orang naksir, dan gue bahkan jadi punya girl-crush sama dia. Bella menjadi penghibur Asma ketika ia sedih, ketika ia senang, dan yang pasti: ketika ia butuh teman untuk bersandar waktu ia merasa sendirian. Bella berhasil membuat penonton bereaksi setiap kali ia muncul di layar. Gue bisa merasakan senyum penonton merekah setiap Bella muncul, dan selalu tertawa ketika Bella berbicara. 

Belum pernah tuh gue nonton film Indonesia di Gading 21 dan penontonnya bereaksi terhadap apa yang terjadi di layar. Penonton Gading 21 biasanya jaim-jaim, kalem banget. Ketawa aja malu-malu. Lain cerita kalo gue nonton di Blok M Square, TIM, atau Atrium. Tapi ketika menonton Assalamualaikum Beijing, penontonnya bisa tertawa, menangis, dan ber-“Astaghfirullah hal adzim” segala.

Tapi untungnya, Reva yang bermain sebagai pemeran utama ngga ketutup sama pesona Bella. Reva semakin menunjukkan kematangannya dalam berakting, dan aktingnya dijamin bisa membuat semua penonton menangis dan bersimpati padanya.

Kejutan lain datang dari Morgan Oey, ex-SM*SH member. Ngga pernah gue sangka mantan memberboyband ala-ala kayak SM*SH yang nyanyi aja maksa, bisa akting dengan sangat natural seperti Morgan. Berperan sebagai orang Cina daratan, bahasa Mandarin Morgan lumayan, ngga malu-maluin banget, walaupun kelancaran aksen dan Bahasa Indonesia Morgan semestinya membuat Asma bertanya-tanya, apakah betul Zhong Wen ini orang asli Cina atau orang Indonesia yang hijrah ke Cina. Tapi terlepas dari itu, sebagai pendatang baru, Morgan bisa mengimbangi akting Reva, menghayati perannya, dan membuat semua cewek-cewek jadi pengen punya "Zhung Zhung"-nya sendiri.

Pada akhirnya, ngga peduli seberapa sinetronpun ceritanya, kalau filmnya bisa memberikan rasa pada penontonnya, itu sudah lebih dari cukup buat gue. Selamat, Assalamualaikum Beijing!

Review: Di Balik 98 (Lukman Sardi, 2015)

$
0
0

Entah kapan terakhir kalinya gue menonton film Indonesia di hari pertamanya, dan satu studio full house dari depan ke belakang. Hal ini terjadi ketika gue menonton Di Balik 98. Entah apa yang membuat film ini begitu diminati; isu yang diangkat kah, berita-berita yang beredar beberapa minggu sebelum filmnya tayang kah, atau sesederhana Chelsea Islan penyebabnya. Tapi hal ini membuat gue senang, karena orang-orang jadi datang ke bioskop untuk menonton film Indonesia.

Di Balik 98 bukanlah film sejarah. Di Balik 98 adalah film fiksi yang menggunakan sejarah sebagai latar belakang ceritanya; bahwa ada kisah lain di balik kejadian Mei 98, selain apa yang menjadi sorotan utama media. Kisah yang tak terlalu penting. Kisah yang lebih "manusiawi". Kisah yang lebih dekat dengan masyarakat awam.

Ada Diana (Chelsea Islan) dan Daniel (Boy William), pasangan kekasih beda nenek moyang yang masih berstatus mahasiswa, tapi aktif dalam kegiatan reformasi kemahasiswaan. Ada Salma (Ririn Ekawati), pegawai istana sekaligus kakak Diana dan suami Bagus (Donny Alamsyah), seorang tentara. Ada pula seorang gelandangan, Rachmat (Teuku Rifnu Wikana - you're awesome, man), dan anaknya yang tak terlalu banyak disorot ataupun diberikan kisah sedalam yang lainnya, tapi menjadi "background" yang mencuri perhatian.

Mugkin memang betul kata orang, "expectation kills". Jangan punya ekspektasi yang terlalu tinggi pada sesuatu/seseorang, karena ketika dikecewakan, rasanya lebih sakit. Dan... Gue punya ekspektasi yang sangat tinggi pada film ini. Di Balik 98 adalah salah satu film yang paling gue tunggu-tunggu tahun ini. Trailer-nya keren banget. Chelsea pun terlihat keren sekali di situ. Gue berharap penampilan dia di sini bisa mengobati kekecewaan gue akan penampilannya di Merry Riana. Tapi.. I was killed by my own expectation. 


Pertama: Chelsea Islan. Di awal, Chelsea oke, jelas lebih baik dibanding penampilannya di Merry Riana. Lukman Sardi sebagai sutradara bisa ngarahin dan "ngejagain" akting Chelsea dengan cukup baik. Tapi di akhir-akhir, kata-kata “OMG Chelsea, OMG Chelsea” yang muncul waktu gue nonton Merry Riana kembali hadir. Chelsea Islan jadi terlalu cepat bereaksi. Ketika belum seharusnya ia sesedih itu, bibirnya sudah bergetar-getar, tubuhnya pun demikian. Hasilnya, bukannya simpati, gue malah ber-“OMG Chelsea, OMG Chelsea”an. Tapi, adegan doi marah-marahin Donny Alamsyah luar biasa. Dia bisa bikin orang ngeri sendiri, ngebayangin gimana kalo mereka lah yang jadi Donny Alamsyah. Tapi hebatnya, Donny Alamsyah ngga bergedik sedikitpun. Dia menunjukkan kelasnya. Dia malah bisa membalas amukan Chelsea dengan teriakan yang tak sebesar Chelsea, tapi aura seramnya tetap terasa.

Kedua: Fokus cerita. Menurut sinopsis, Di Balik 98 adalah cerita tentang “sebuah keluarga yang tercerai berai dan sepasang kekasih yang terpisahkan”. Tapi... "Niat" ini ngga sampe ke gue. Menurut gue, bagian ini harusnya bisa dieksplor lebih dalam lagi. Gue malah lebih nangkep cerita soal kerusuhannya sendiri; demo yang mengerikan dan gila-gilaan, ketakutan sempurna Salma waktu terjebak di tengah kerusuhan, serta adegan-adegan yang menggambarkan kebimbangan Harmoko, Soeharto, dan Habibie (Agus Kuncoro as Habibie OMG. Sedih liatnya). Tapi lagi-lagi... Bagian ini juga nanggung. Terlalu banyak yang ingin diceritakan, sampai-sampai jadi bingung mau menaruh fokus di mana. Alhasil, selesai nonton pun gue berasa kentang banget.

But nevertheless, sebagai debut penyutradaraan layar lebarnya, menurut gue Lukman Sardi luar biasa. Dia bener-bener niat bikin set sedemikian rupa supaya feel tahun 98 masih terasa. Memunculkan aktor-aktor untuk mewakili tokoh-tokoh pada masanya (padahal kebanyakkan dari mereka ngga berdialog sama sekali), mobil-mobilan jadul, munculin tanker di jalan raya, beneran shooting di istana, sampe akses masuk dan "meramaikan Gedung DPR/MPR" segala. Belum lagi adegan demo, kerusuhan, serta penjarahan yang menjadi highlight terbesar dalam film ini. Gue sampe merinding dibuatnya, membayangkan betapa takutnya gue jika saat itu gue berada di sana. Luar biasa. Dan untuk poin ini, I highly appreciate Lukman Sardi dan tim Di Balik 98. Ditunggu karya-karya berikutnya, Mas Lukman!

Review: Kacaunya Dunia Persilatan (Hilman Mutasi, 2015)

$
0
0

Begitu liat trailer-nya di bioskop akhir tahun lalu, gue sangat tertarik untuk menonton Kacaunya Dunia Persilatan. Kenapa? Karena gue kangen sama film komedi yang "gila". Melihat trailer-nya yang kacau itu, gue sebetulnya ngga peduli sama cerita filmnya, selama gue bisa dibikin ketawa, I'm happy. Belum lagi jajaran cast-nya yang ada Tora Sudiro dan Aming, jaminan sableng mestinya. 

Sempat tertunda beberapa waktu, akhirnya gue sempat nonton juga tadi. Detik pertama film dibuka, gue langsung tau kenapa belum masuk seminggu, film ini udah banyak ilang dari bioskop dan penontonnya cuma 17ribuan aja.

Bukan, bukan karena film ini jelek. Tapi karena orang merasa bahwa film ini adalah film busuk yang sok lucu, sok niru-niru Comic 8, sok nyinyir-nyinyirin PendekarTongkat Emas, dan pasti dibikin ngga serius – apalagi kalau mengingat betapa Tora dan Aming udah ngga bisa “serius” lagi kalau sedang ngelucu (yang lantas malah jadi jayus). Jadi, buat apa ditonton?


Setelah menonton filmnya, gue bisa bilang kalau asumsi tersebut ada benar dan salahnya. Benar karena film ini nampaknya memang dibuat untuk niru-niru "keguoblokan" Comic 8 dan tentunya untuk nyinyir-nyinyirin Pendekar Tongkat Emas. Tapi salah adalah bahwa kalau orang-orang berpikir bahwa film ini dibuat ngga serius. Menurut gue, Kacaunya Dunia Persilatan bahkan dibuat terlalu serius untuk ukuran film parodi nyinyir seperti ini. Mereka bikin animasi yang keren bukan main, broooo!

Ya, buat gue, Kacaunya Dunia Persilatan adalah film parodi yang nyinyir -- masih nyinyir yang menyenangkan dan bisa dinikmati tentunya. Ala-ala Scary Movie gitu. Segala macam hal diparodiin dan dinyinyirin, bukan cuma Pendekar Tongkat Emas yang somehow memang menjadi “background” ceritanya secara menyeluruh. Vicky Prasetyo dengan bahasa anehnya diparodiin, tokoh-tokoh pendekar Indonesia zaman dulu pun diparodiin jadi Panci Tengkorak tukang jualan panci, Wira Sableng anggota MLM, Datuk Berdahak, dan masih banyak lagi. Dan alih-alih Sumbawa, mereka kayaknya ngambil set somewhere di Jawa Barat untuk menggambarkan latar belakang "padang rumput".

Yang bikin surprised adalah Darius Sinathrya. Setelah Merah Putih, Broken Hearts, dan Pendekar Tongkat Emas, image Darius di gue adalah aktor yang serius. Tapi melihat Darius dalam waktu berdekatan (gue nonton premiere Nada Untuk Asa kemarin, review coming soon), bikin gue sadar kalo Darius itu sebenarnya punya potensi yang besar sekali untuk jadi komedian atau memerankan sosok yang slengean. Walau badannya “badan serius”, tapi mukanya ternyata sangat iseng, sangat jail, sangat.. Lucu.

Tapi sayangnya… Komedi yang ditampilkan masih nanggung banget buat gue. Beberapa bisa bikin ketawa, tapi kebanyakkan bikin gregetan doang. “Kenapa ga digaspolin aja sihh?” Kalo misalnya ngga nanggung-nanggung, banyak main sound effect kayak sitkom gitu untuk memperkuat kelucuannya, gue cukup yakin filmnya bakal laku. Karena pada dasarnya orang-orang (termasuk gue) kangen sama film-film komedi. Kita-kita ini kangen dibikin ketawa pas nonton film. Hidup sudah berat kan ya, bro, masa ketawa aja masih dipersulit? Sayang, sayang... Potensinya besar, niatnya pun keliatan. Tapi kenapa justru "makanan utama" alias komedinya malah dibikin nanggung?

Nonton Kacaunya Dunia Persilatan membuat gue mengenang masa-masa keemasan Tora Sudiro dan Aming di Extravaganza dulu. Dan barusan aja gue berpikir, mendengar bahwa Tike, Ronal, Tora, dan Mieke Amalia mau syuting bareng dalam satu film (ga tau film apa tapinya), kok gue jadi ngerasa Kacaunya Dunia Persilatan adalah “pemanasan” sebelum masuk ke Extravaganza stars reunion itu ya? 

Review: Hijab (Hanung Bramantyo, 2015)

$
0
0

Buat gue, Hanung Bramantyo itu "barang langka" di perfilman Indonesia. Dia sutradara yang bukan cuma bisa bikin film bagus, tapi juga komersil. Hanung Bramantyo mungkin adalah satu-satunya sutradara Indonesia yang bukan hanya dikenal oleh penonton film, tapi juga masyarakat awam. Karya-karyanya banyak yang mendapatkan penghargaan dan penonton dalam jumlah luar biasa. Tapi di sisi lain, beberapa karyanya pun menuai kontroversi.

Salah satunya adalah karyanya yang terbaru, Hijab. Di satu sisi, Hijab menuai pujian di sana-sini. Banyak yang mengatakan bahwa Hijab adalah salah satu film terbaik Hanung, sementara di sisi lain, banyak yang bilang bahwa Hijab menjelekkan ataupun nyinyirin agama Islam. Di sisi mana lo berdiri, it's completely up to you. Gue hanya akan menilai film ini dari apa yang gue rasakan setelah gue selesai menonton film ini. That simple.

Adegan dibuka dengan tiga dari empat cewek tokoh utama kita, Sari (Zaskia Adya Mecca), Bia (Carissa Puteri), dan Tata (Tika Bravani) -- satunya lagi Anin (Natasha Rizky) yang baru muncul belakangan -- yang sedang mengoceh dengan serunya ke kamera. Belakangan diketahui bahwa mereka sedang bercerita tentang perjalanan mereka membangun Meccanism, butik hijab milik mereka yang hits sekali di kalangan hijabers. Tentunya, perjalanan mereka tidak mudah. Mereka harus berhadapan dengan suami-suami mereka yang #lakibanget dan tidak bisa menerima fakta bahwa perempuan masa kini ngga bisa diatur semena-mena oleh para suami. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, siisst! *eh, Siti Nurbaya mah dijodohin ya*. Nah, demi mewujudkan cita-cita #wanitamasakini, akhirnya mereka berbohong pada para suami... yang tentunya berakibat fatal, karena sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium. Iya ngga?

Buat gue, Hijab tak lebih dari sekedar film haha hihi saja. Ini film yang sangat ringan. Nonton Hijab tak ubahnya nonton TV series komedi yang tujuannya tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menghibur penontonnya saja. Itu yang gue rasakan setelah menonton filmnya.

Tapi... Bukannya terhibur, seringkali gue malah mengernyitkan kening. Ya, beberapa jokes-nya memang berhasil membuat tertawa, tapi sebagian besar malah bikin berpikir, "ini para pemainnya kok ketawa mulu sih, apa yang lucu?". Mereka terlihat heboh sendiri dengan obrolan dan dunia mereka. That's a good thing.. tapi kalo ini adalah kehidupan nyata dan bukannya sebuah film. Tapi masalahnya, ini adalah film. Para pemainnya harusnya sedang "berbicara" kepada penonton lewat akting dan dialog mereka. Tapi... Gue sebagai penonton sama sekali tidak merasa terkoneksi dengan Sari, Bia, Tata, dan Anin, maupun para suami. Mereka seru sendiri dan gue ngga diajak seseruan bareng gitu. Bukannya ngga ada gue ngga rame ya?

Other than that, everything looks nice. Gambarnya cantik, kostumnya cantik-cantik, dan ceritanya juga menarik, berhasil ngasih liat realita tak nampak dalam hidup berumah tangga, dan terutama kehidupan para hijabers. Para suami, mulai dari Matnur (Nino Fernandez, suami Bia), Gamal (Mike Lucock, suami Sari), Ujul (Dion Wiyoko, suami Tata), sampai Chaky (Dion Wiyoko, pacar Anin), semuanya tampil menawan. Chemistry mereka semua oke punya. Tek-toknya dapet, dan mereka berhasil menghibur gue dengan tingkah polah mereka yang lucu-lucu itu.

But overall.. Jujur gue agak kecewa sama Hijab sih sebetulnya. Hijab termasuk dalam salah satu film yang paling gue tunggu tahun ini, karena trailer-nya keliatan seru. Tapi ternyata.. mereka ngga ngajak gue seseruan bareng... Hiks..... Speechless saya... ;(

Review: Nada Untuk Asa (Charles Gozali, 2015)

$
0
0

Setelah Finding Srimulat yang jadi film favorit gue di tahun 2013 kemarin, gue tau bahwa Charles Gozali bukan cuma punya niat yang sangat baik untuk membuat film yang baik. Charles Gozali juga punya kemampuan yang luar biasa untuk membuat film yang baik... dan memiliki rasa, jika ia sudah benar-benar menyerahkan hatinya untuk film yang dibuatnya. Dan ia melakukannya lagi di film terbarunya yang berjudul Nada Untuk Asa.

Jujur, begitu trailer-nya keluar, gue ngga terlalu bersemangat untuk menonton filmnya. Bukan, bukan karena filmnya jelek. Tapi sesimpel karena genre-nya bukan genre favorit gue. Film-film seperti ini adalah film yang bakal bikin gue nangis, dan gue sebel kalo "dipaksa" nangis di bioskop.

Dan gue bukan cuma nangis pas di bioskop. Gue mewek sampe hidung mampet. Gimana engga? Nada Untuk Asa bercerita tentang Nada (Marsha Timothy) yang ditinggal mati sama suaminya, Bobby (Irgi Fahrezi). Sepeninggalnya, Nada baru tahu bahwa sang suami meninggal karena HIV/AIDS, dan... jengjengjengjeng.. Bobby "menularkannya" pada Nada... dan bayi mereka, Asa (waktu sudah besar diperankan oleh Acha Septriasa). Belum cukup sampai di situ penderitaan Nada, ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa kakaknya (Inong Ayu) dan ayahnya yang sangat mencintainya (Matias Muchus), tidak lagi menganggapnya sebagai keluarga. Kedua anak laki-lakinya yang sehat pun diambil darinya, demi alasan kesehatan. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, rumah kebanjiran juga. Apes seapes-apesnya. Gimana ngga nangis kan, coba? Bayanginnya aja udah sedih bener.

Highlight terbesar dalam film ini tentu saja adalah para pemerannya yang luar biasa. Marsha Timothy terlihat semakin mantap, Acha Septriasa juga mengagumkan, dan jawaranya adalah Wulan Guritno yang walaupun tampil sangat singkat, tapi berhasil membuat lo berkata, "anjir anjir anjir" saking kerennya dia. Dua wanita pemeran utama dalam film ini plus satu pemeran pendukungnya betul-betul hebat. Belum lagi Darius Sinathrya (di film jadi Wisnu) yang hawa-hawanya bisa jadi pria idaman para wanita setelah film ini. Walaupun ia sudah beristri dan beranak tiga, di Nada Untuk Asa ia berperan sebagai seorang pria single yang tampan rupawan dan mempesona. Chemistry-nya sama Acha mungkin bisa bikin Donna Agnesia cemburu saking adorable-nya mereka. Ciamik.

Tapi bukan cuma main cast-nya aja yang luar biasa, para pemain pendukungnya juga keren bukan main. Mulai dari Matias Muchus, Butet Kertaradjasa, Inong Ayu, Donny Damara, sampai Irgi Fahrezi yang tampil cuma berapa menit doang, semuanya memberikan performa maksimal. Bisa dibilang, Nada Untuk Asa adalah film dengan ensemble cast yang super! Jarang banget liat film Indonesia dengan ensemble cast sebaik ini.

Charles Gozali membuat film ini karena ia terinspirasi kisah nyata Yurike Ferdinandus, yang juga mengalami kisah serupa Nada dalam film ini. Tapi menceritakan kisah sedih ngga harus selalu bersedih-sedih, kan? Di sini lah hebatnya Charles Gozali sebagai sutradara sekaligus penulis skenario dan editor film ini. Ia ngga membuat dialog dan adegannya jadi menye-menye dan maksa orang untuk nangis walaupun ceritanya sesedih itu. Ia juga ngga membuat shot-shot yang dramatis untuk membuat orang semakin miris. Ia menceritakannya apa adanya, mengalir santai. Dan gue suka caranya bercerita secara paralel melalui dua sudut pandang secara bergantian, hingga akhirnya semua puzzle terangkai, dan mereka pun bersatu.

Ini memang kisah sedih, tapi ini bukan kisah sedih yang membuat kita cuma bisa menangis saja. Justru di balik tangisannya, ada semangat dan optimisme yang nampak. Optimisme yang membukakan mata bahwa di tengah segala kesusahan yang kita alami, semua bisa kita lalui selama kita berani menghadapinya. Selama kita berani untuk hidup.

Congratulations MagMa Entertainment dan Charles Gozali! Keep it up and looking forward to your upcoming movies!Film wajib tonton banget. Jangan lupa saksikan Nada Untuk Asa di bioskop-bioskop kesayangan Anda mulai 5 Februari 2015! Ngga sabar nonton lagi!


P.S.: Lagu-lagunya Pongki di film ini enak-enak deh!

Review: This is Cinta (Sony Gaokasak, 2015)

$
0
0


Waktu kecil, hampir semua cewek di dunia ini pasti punya mimpi untuk bertemu dan jatuh cinta dengan pangeran berkuda putih, dan hidup bahagia selamanya di istana impian mereka, seperti yang ada di dongeng-dongeng, ya ngga, Ladies and Girls? Dan keinginan terbesar gadis-gadis cilik itu ketika dewasa tentunya adalah untuk melihat impian masa kecil mereka menjadi nyata. Sekarang, sebuah film dari Starvision Plus yang diarahkan oleh Sony Gaokasak dan ditulis oleh Haqi Achmad mewujudkan mimpi itu dalam sebuah film berjudul This is Cinta.

Alkisah di negeri antah berantah (ngga antah berantah juga sih, di Bogor doang gitu), hiduplah seorang anak laki-laki dan anak perempuan yang bertetangga, Farel (Shawn Adrian Khulafa) dan Rachel (Yuki Kato) namanya. Sejak kecil, mereka sering main telpon-telponan kaleng bareng, manjat-manjat pohon bareng, lari-larian bareng, kemping-kempingan bareng, dan tentunya nyanyi-nyanyian bareng karena Rachel bisa nyanyi dan Farel bisa main piano. Banyaknya aktivitas yang mereka lakukan bersama menjadikan mereka begitu dekat, hingga bahkan, selayaknya balita pada umumnya, mereka berani mengucapkan janji yang akan dibilang orang dewasa sebagai sesuatu yang imposibru: Farel berjanji akan membawa Rachel ke "istana" impian mereka. 

Tapi... Mama Rachel (Aida Nurmala) tidak menyetujui persahabatan mereka karena keluarga Farel miskin. Mereka pun dipaksa berpisah dan Rachel "dibawa kabur" ke New Zealand. 12 tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan oleh takdir... dan Mama Rachel yang masih juga tidak merestui hubungan mereka, dan malah menjodohkan Rachel dengan anak temannya yang lebih kaya, Nico (Fandy Christian). Lantas, apa yang terjadi berikutnya?

Jujur, begitu liat teaser trailer-nya akhir tahun kemarin, gue sampe meringis karena teaser-nya mellowwwwwww banget (I don't like too mellow-mellow movies), dan mukanya si Shawn datar parah bikin ga napsu. Tapi begitutrailer resminya muncul, gue jadi lebih positif dan bersemangat. Trailer-nya terlihat menarik dan ngga semenye-menye teaser-nya. Dan yang lebih mengejutkan, Yuki Kato yang selama ini gue lihat sebagai sesosok artis yang sok asik, terlihat sangat keren aktingnya di sana. 

Akhirnya, gue nonton filmnya Sabtu kemarin, dan surprisingly, gue suka sama filmnya.


Walau sepintas terlihat sebagai film romansa remaja pada umumnya, ternyata This is Cinta menyajikan porsi yang sangat seimbang antara drama keluarga dan cinta-cintaannya. Dan karena keseimbangan ini lah, cerita cintanya jadi terasa lebih punya kedalaman karena ada faktor keluarga di belakangnya. Sesuatu yang tidak terlalu sering di-highlight di film-film remaja lainnya yang biasanya lebih sering berfokus pada remajanya saja. 

Dan apa yang ditampilkan di trailer tidak bohong, Yuki Kato amat mempesona di This is Cinta. Aktingnya luar biasa. Gue banyak dibikin nangis sama dia (but in a good way) karena dia betul-betul jago memainkan emosinya dan menampilkannya di layar. Tapi yang lebih luar biasa lagi menurut gue adalah... Dia bisa begitu sabar menghadapi Shawn yang lempeng terus sepanjang film (ngalah-ngalahin lempengnya Al Ghazali doi), dan tetap mengeluarkan kemampuan terbaiknya. 

Tapi ngomong-ngomong soal kedataran Shawn, gue juga cukup terkejut karena ternyata gue tidak terlalu terganggu dengan "aktingnya" itu (jauh lebih menganggu Diva di Supernova atau Chelsea di Merry Riana), dan malah, secara mengezutkan, ketidakmampuan akting Shawn malah memperkuat karakternya sebagai seorang cowok yang sangat polos dan clueless. Well, dia cuma pernah cinta sama satu perempuan sejak kecil, dan dia segitu polosnya sampe-sampe ada cewek yang naksir sama dia pun dia ga berasa.

Buat beberapa orang dewasa, This is Cinta mungkin akan dianggap sebagai film yang terlalu mengada-ada, simply karena mereka telah menjalani hidup, melihat realita dunia, dan menyadari bahwa kisah cinta seperti di dongeng itu ngga ada. Tapi buat anak kecil dan remaja yang masih polos-polos dan belia, ngga ada yang mustahil dan ngga ada yang ngga logis, karena semua hal mungkin untuk mereka.

Buat gue sendiri, This is Cinta adalah film untuk orang-orang yang masih percaya bahwa cinta sejak kecil itu ada. Sebuah perwujudan manusia akan kisah dongeng. Sebuah bentuk cinta yang murni, cinta yang bersih, dan cinta yang suci. Buat gue, This is Cinta bisa menjadi sebuah upaya untuk mengembalikan kepercayaan orang akan adanya sebuah cinta sejati yang bisa bertahan melawan jarak, menembus waktu dan dimensi, serta kemampuan untuk melalui segala tantangan yang ada, selama kita bersama orang yang kita cinta.

LINE presents: Nic & Mar

$
0
0
Ini kisah tentang dua orang yang tidak saling mencari, tapi saling menemukan - Nic (eps. 1)
LINE kembali menggebrak. Setelah film pendek reuni AADC akhir tahun lalu, awal Maret kemarin LINE merilis mobile-based drama series berjudul Nic & Mar yang dibintangi Nicholas Saputra dan Mariana Renata. Ceritanya sederhana, tentang sepasang mantan kekasih yang kembali bertemu di Paris. Ujungnya pun jelas, cinta lama bersemi kembali.

Kalo kata Warhol, "people should fall in love with their eyes closed" - Nic (eps. 2)
Namun, kisah yang sudah usang -- tapi tak pernah lekang oleh waktu seperti Kerispatih -- ini tetap menarik untuk ditonton. Alasannya simpel, karena yang main ganteng-ganteng dan cantik-cantik, serta lokasi shooting-nya di Eropa yang ngga kalah cantiknya seperti para pemainnya. Dua alasan ini berhasil membuat gue ingin cepat-cepat bertemu Kamis dan Jumat lagi di setiap minggunya, karena artinya episode baru Nic & Mar muncul. Hebat ya, LINE?

Semakin ke sini, semakin dicari malah semakin susah nemu yang cocok - Nic (eps. 4)
Satu hal yang paling gue suka dari Nic & Mar adalah: betapa naturalnya mereka berdialog dan berinteraksi -- mungkin karena dulu Nico dan Mariana pernah main bareng di Janji Joni kali yaa. Nonton Nic & Mar tuh kayak nonton trilogi Before Sunrise/Sunset/Midnight versi Indonesia. Belum segreget itu, tapi effort-nya boleh lah. Dialog-dialog yang keluar dari mulut mereka seperti dialog-dialog orang pada umumnya, dan interaksinya pun terasa manis banget, bikin gue iri. Huft.

Sharing kamar... Biar lebih romantis... - Nic (eps. 5) 
Walau sampai saat ini (28 Maret 2015, red) belum ada episode yang greget-greget banget kecuali episode 4, gue tetap akan nonton series-nya, simply because they look so cute together! 

Yuk, unyu-unyuan bareng! Tonton episode baru dari Nic & Mar tiap Kamis dan Jumat jam 12an di sini, dan kita lihat, akan semanis apa kisah dua orang yang sudah ditakdirkan untuk bersama ini berakhir.

He who seeks doesn't find. He who doesn't seek will be found - Nic (eps. 5)

Tentang Ngobrolin Film dan Film Indonesia

$
0
0

Jauh sebelum gue lahir, film Indonesia sudah lebih dulu ada; tayang di layar tancep atau bioskop, dan menghibur warga. Bukan cuma yang menghibur, banyak juga film Indonesia yang bersejarah, baik yang menceritakan, maupun yang menjadi bagian dari sejarah itu sendiri. Beberapa film dari masa lalu yang begitu legendarisnya hingga masih sering disebut-sebut sampai sekarang, misalnya ada Tjoet Nja' Dhien, Bayi Ajaib, Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, dan masih banyak lagi deretan film yang cuma pernah gue denger namanya dari para pecinta film yang lebih gokil dari gue. #akumahapaatuh.

Di era gue sendiri, era setelah gue lahir dan mulai mengenal yang namanya "nonton film" dan "bioskop", ada pula beberapa film yang sampai sekarang menjadi fenomena. Sebut saja Petualangan Sherina yang membangkitkan kembali dunia perfilman Indonesia, Jelangkung, yang berhasil membuat orang parno akan sesuatu yang berada di bawah meja belajarnya, dan tentunya Ada Apa Dengan Cinta? yang bikin semua orang bercita-cita jadi pujangga. Tapi bukan di sana awal kecintaan gue akan film Indonesia bermula. Bahkan pada kenyataannya, satu tahun setelah AADC tayang, rasa percaya gue akan film Indonesia justru malah hilang... 


Yep, kepercayaan gue akan film Indonesia hilang, bergantikan kekecewaan karena sebuah film yang berjudul Eiffel, I'm in Love. Gue inget banget waktu itu gue masih kelar 1 SMP, hangout ke mall pertama yang tanpa orangtua (hahahahaha), dan gue nonton Eiffel I'm in Love di Plaza Senayan pas weekend. Setelah film berakhir, gue langsung merasa rugi mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk menonton film yang aposeh banget itu -- btw, pas nulis ini gue merasa kayaknya tahun 2003 harga tiket belum 50ribu deh, tapi seinget gue itu 50ribu. Dan semenjak saat itu, kayaknya gue tidak pernah lagi menonton film Indonesia di bioskop. Nonton di TV atau DVD aja cukup.

Sampai pada akhir 2008, gue menonton film Takut: Faces of Fear di iNAFFF. Di sana, gue melihat trailer sebuah film Indonesia yang sangat menarik. Pintu Terlarang judulnya. Dan Pintu Terlarang lah yang membuat kepercayaan gue akan film Indonesia kembali, sekaligus membuat kecintaan gue akan film Indonesia muncul. Sejak saat itu, gue rutin nonton film Indonesia, baik yang buthut maupun tidak. Dan karena Pintu Terlarang pula lah, blog Ngobrolin Film ini kini ada.


Hari ini, 30 Maret 2015, adalah Hari Film Nasional. Hari untuk merayakan film-film buatan negeri kita sendiri. Dan hari ini, aliansi bioskop-bioskop Indonesia (kayak ada aja #tsah) merayakan Hari Film Nasional dengan memutarkan kembali beberapa film-film Indonesia yang pernah tayang sebelumnya, plus promo beli 1 gratis 1! Yuk dateng ke bioskop-bioskop di bawah ini dan tonton filmnya! Cuma hari ini aja!


P.S.: Setelah ditonton lagi, Eiffel I'm in Love ternyata ga sejelek yang gue tonton dulu. Gue bahkan malah jadi suka sama filmnya. Hahaha! :))

Review: Kapan Kawin? (Ody C. Harahap, 2015)

$
0
0

Yep yep, gue tau ini telat banget untuk gue bikin reviewKapan Kawin, hahaha. Tapi gue harus... Karena ini salah satu film Indonesia yang paling gue tunggu-tunggu tahun ini. So, here it goes...

***

Gue suka banget sama karya-karyanya Ody C. Harahap. Bisa dibilang, dia adalah sutradara favorit gue. Hampir semua filmnya gue tonton, dan gue especially loveee film-film romcom dia. Menurut gue, style komedi dia pas sama gue. Dan setelah sekian lama, Ody C. Harahap akhirnya mengeluarkan film romcom lagi. Pemainnya ngga main-main pula, ada si aktor charming serba bisa favorit gue, Reza Rahadian, dan si cantik binti seksi Adinia Wirasti yang bikin gue berpikir "kapan gue bisa punya bodi kayak doi" terus sepanjang nonton filmnya.

Kapan Kawin bercerita tentang Dinda (Adinia Wirasti), cewek sukses berusia 30 tahun yang menjabat sebagai General Manager salah satu hotel beken di Jakarta. Saking fokusnya sama karir, Dinda sampai lupa bahwa dia sudah 30 tahun, dan orangtuanya sudah meminta cucu darinya. Sama seperti wanita seusia Dinda lainnya yang belum menikah, Dinda pun kena teror "Kapan Kawin?" dari orangtuanya. Dinda lalu meminta bantuan temannya, dan memutuskan untuk menyewa Satrio, aktor-jalanan-yang-idealis-tapi-butuh-duit, untuk berpura-pura sebagai pacarnya. Seiring waktu yang mereka habiskan bersama, pada akhirnya mereka menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta.

Cerita dan formula yang ditawarkan Kapan Kawin adalah standar romcom biasa. Dua orang yang pura-pura pacaran, taunya jatuh cinta beneran. Super standar. Tapi again, seperti yang selalu gue camkan di review-review gue lainnya, justru bikin film dengan cerita standar gini adalah yang paling sulit. Dialog-dialognya harus smart, mengalir, dan believable. Sementara aktornya harus punya chemistry yang kuat antara satu dan yang lainnya. Terakhir, sutradaranya jelas harus membuat semua elemen ini bener-bener menyatu dan bikin orang enjoy banget nontonnya.


Puji Tuhan, Kapan Kawin bisa men-deliver itu semua dengan baik.

Dari adegan pembuka, kita semua pasti udah bisa nebak kalau Kapan Kawin adalah sebuah film romantic comedy, di mana part comedy-nya adalah komedi lebay. And I'm super fine with that as long as it can make me laugh hard, and not annoyed. Dan untungnya, semua faktor penting yang gue sebutkan di atas tadi bisa menjadikan Kapan Kawin sebagai tontonan lebay yang memancing tawa dan sangat menghibur.

Dialognya mengalir dan sangat believeable. Komedinya, as usual, khas Ody, bisa gue terima dengan sangat baik. Gue ketawa ngakak hampir di sepanjang film. Tapi bukan itu aja, drama keluarganya juga dapet, dan romantis manisnya juga unyu banget. Belum lagi chemistry Reza dan Adinia juga juara banget. Yang mengejutkan, Reza Rahadian ternyata emang aktor serba bisa yang luar biasa. Rasa-rasanya ini adalah film komedi pertamanya di mana dia bener-bener harus tampil lucu, and he nailed it. Lope lope banget deh, Mas RR.    


Tapi bukan cuma Reza Rahadian yang bersinar, Mamah (Ivanka Suwandi) dan Papah (Adi Kurdi) Dinda juga luar biasa. Semua #drama yang mereka lakukan benar-benar lucu dan memancing tawa. Chemistry mereka juga ngga kalah oke dibanding duo Satrio-Dinda. Paket komplit yang bikin Kapan Kawin ngga ada duanya.

Setelah nonton kali ke-2, gue baru sadar kalau Kapan Kawin bukan cuma ingin mengajak kita tertawa dari cerita romansa dua insan manusia saja. Kapan Kawin juga ingin menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah proses. Sebuah proses saling mengenal dan saling belajar. Bukan cuma antar pasangan, tapi juga antara anak dan orangtua. Hingga pada akhirnya, mereka bisa menjadi lebih baik, saling menerima, dan saling mencinta satu sama lainnya, apa adanya. Sesuatu yang tidak diingikan Tulus pastinya.

Review: Kampung Zombie (Billy Christian & Helfi Kardit, 2015)

$
0
0

Gue bukan penggemar film zombie. Simply because film-film zombie selalu punya pattern yang sama: ada sedikit background story, lalu adegan berikutnya akan tentang dikejar, sembunyi, mencari bantuan, dikejar lagi, sembunyi lagi, dan begitu terus sampe tinggal satu (atau dua) orang doang yang selamat. Begitupun dengan Kampung Zombie.

Tapi ada alasan kenapa gue akhirnya memutuskan untuk menonton film ini. Satu, karena ini film Indonesia. Dua, karena ini film Indonesia pertama (yang gue tau) tentang zombie. Tiga, trailer-nya cukup menarik. Empat, gue penasaran liat El, apakah dia lebih baik dari kakaknya atau tidak.



10 menit pertama cukup menegangkan. Di luar dari dialog-dialog dan logic-nya yang masyaallah banget, tapi tegang-tegang dan feel terrorized-nya cukup berasa. Zombie-nya muncul satu per satu lalu bertambah banyak, dan itu cukup creepy buat gue. Tapi setelah opening title muncul, meh. Gue bosen. Pattern yang sama tadi terus berulang. 70 menit sisanya, gue menunggu-nunggu kapan film ini selesai. 70 menit sisanya, isi adegan dalam film ini cuma 5 sekawan ketemu zombie, mereka dikejar, mereka sembunyi, ada yang mati, mereka melawan, mereka dikejar lagi, ada yang mati lagi, mereka sembunyi lagi, dan begitu terus aja sampe akhirnya you-know-who berhasil menyelamatkan diri. Capek nontonnya. Pemain capek, penonton juga capek.

Kampung Zombie sebetulnya menawarkan sesuatu yang cukup baru dan menarik dalam dunia per-zombie-an. Di Kampung Zombie, zombie-nya bukan cuma mayat idup yang kelaparan. Di Kampung Zombie, zombie-nya bisa melakukan kegiatan rumah tangga seperti membersihkan gabah, menyapu, menuang air, dan menyeduh teh/kopi. Zombie-zombie di sini juga bisa berantem kayak petinju, bisa mencekik orang, mereka bisa melawan, sekaligus bertahan. Tapi bukan itu saja yang menakjubkan, ada satu zombie di sini -- kita sebut saja Madam Zombie -- juga memiliki nafsu birahi! HAHA! Di Kampung Zombie, zombie-nya seolah masih punya sedikit "hati", seolah-olah mereka sebetulnya masih ingin jadi manusia, tapi mereka terpaksa harus menjalani hidup sebagai zombie

Tapi sayangnya, konsep zombie yang menarik ini tidak benar-benar digarap serius. Kelakukan zombie-zombie yang tidak seperti zombie-zombie pada umumnya ini tidak diberi background story yang cukup, sehingga membuat Kampung Zombie terlihat payah dan tidak memiliki dasar cerita -- let alone script -- yang kuat. Ada zombie yang bisa mengendus bau manusia, ada yang tidak. Ada zombie yang jadi "melewati" manusia karena si manusia menahan nafas, ada yang bisa "melewatinya" begitu saja walau sang manusia tetap bernafas. Ada juga yang sekali panah langsung mati, ada yang perlu digabruk berkali-kali baru mati. Tidak konsisten.

If only.. If only Kampung Zombie bisa memberi background story yang cukup... aja, maka segala kebodohan dialog dan adegan aksi yang mereka lakukan bisa dimaafkan. Nonton jadi bisa lebih enjoy, dan bukan ngga mungkin Kampung Zombie bisa jadi pionir yang bagus untuk film-film zombie Indonesia berikutnya.

FILM INDONESIA 9 APRIL 2015

$
0
0

Kamis ini, 9 April 2015, akan ada tiga film Indonesia yang tayang berbarengan. Berbeda dari biasanya -- kecuali film-film lebaran -- film-film ini sama-sama menarik untuk ditonton. Semuanya berbeda genre, dan memiliki keunikan atau nilai jualnya masing-masing. 

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto misalnya, adalah film biopik salah satu tokoh nasional terpenting, Tjokroaminoto. Sementara Tuyul part 1 nampak seperti proyek ambisius yang dibuat dengan sepenuh hati oleh Renee Pictures. Di sisi lain, Filosofi Kopi jadi terlihat sebagai tontonan yang paling ringan di antara ketiganya, walau ia mengemban kata "Filosofi" di dalamnya.

Mana yang akan lo tonton duluan? Itu pertanyaannya.

Apakah itu film Guru Bangsa Tjokroaminoto, yang dengar-dengar berdurasi 160 menit dan dimainkan oleh Reza Rahadian, Tanta Ginting, Deva Mahenra, Ibnu Jamil, Maia Estianty, dan Chelsea Islan?


Atau apakah lo lebih pengen ditakut-takuti dulu oleh Gandhi Fernando dan Dinda Kanya Dewi di Tuyul part 1?


Atau mungkin, lo mau ngopi-ngopi ganteng sama Chicco Jerikho dan Rio Dewanto, terus lanjut ngomongin soal filosofi hidup sama Julie Estelle di kedai mereka, Filosofi Kopi?


Kasih tau gue ya!

Review: Air & Api (Raymond Handaya, 2015)

$
0
0

Air & Api adalah sekuel dari film Si Jago Merah tahun 2008 lalu. Kali ini, Rojak (Judika Sitohang) dan Gito (Deddy Mahendra Desta) yang sudah jadi senior ditugaskan untuk melatih pasukan pemadam kebakaran yang baru. Ada Radit (Tarra Budiman) yang dipaksa masuk DamKar karena Ayahnya, Dipo (Dion Wiyoko) yang memang memiliki cita-cita untuk membantu orang lain dan berguna sebagai manusia, serta Sisi (Enzy Storia), cewek mungil yang menjadi anggota karena Ayahnya juga adalah Pemadam Kebakaran. Bisa ditebak, Air & Api tidak akan menjadi kisah pemadam kebakaran biasa. Ini adalah kisah cinta segitiga. Jeng jeng.

Secara mengejutkan, Air & Api dibuat dengan sangat baikkkkk sekali. Ceritanya mengalir dan disampaikan dengan pace yang pas. Drama keluarganya berhasil tersampaikan dengan singkat, padat, dan jelas. Konflik cinta segitiganya pun pas dan ngga malah memakan porsi cerita utama. Dan cerita utamanya sendiri, yaitu bagaimana para petugas memadamkan bencana alam yang bukan cuma kebakaran, disajikan dengan sangat baik sekali. 

Gue terutama salut dengan adegan banjir terakhir yang gue tau syutingnya itu pasti susah sekali. Walau di beberapa shot keliatan fake-nya, dan bahwa lokasi banjir sebetulnya adalah kolam renang -- karena mana mungkin yaa banjir bening gitu, haha -- tapi tim produksinya benar-benar terlihat berusaha menutupi ke-kolam-renang-annya. Belum lagi para aktor (dan cameramen)-nya yang harus entah berapa kali menyelam dan menahan nafas untuk menghasilkan adegan yang sempurna. Kerjasama mereka semua berhasil memberikan ketegangan dan keseruan yang ngena. Salut!

Selain itu, penampilan para pemainnya tidak istimewa sekali sih, tapi mereka semua benar-benar terlihat serius memberikan yang terbaik mereka. Walau para wanitanya tidak memuaskan, tapi para prianya berhasil menunjukkan aura laki mereka yang kompetitif itu, baik soal kerjaan maupun asmara. Selain itu, para pemain pendukung lainnya seperti Judika, Desta, Joe P Project, Bucek, dan bahkan Volland Humonggio, sama-sama berperan penting dalam menyatukan keseluruhan elemen dalam film ini.

Overall, gue suka sama filmnya. Dramanya dapet, action-nya dapet, komedinya juga lumayan oke, dan romantis-romantisnya pun lucu dan manis. Film tribute ke alm. Iqbal Rais nampaknya dikerjakan dengan sangat baik. Suka!

Review: Filosofi Kopi (Angga Dwimas Sasongko, 2015)

$
0
0

Film Filosofi Kopi bercerita tentang dua sahabat, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) yang membangun kedai kopi bersama. Kalau Ben didasari obsesi dan kecintanya akan kopi, sementara Jody ikutan karena cuan (baca: duit). Ben dan Jody memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Kalau Ben anaknya main hati banget, sementara Jody pake otak banget.

Masalah muncul ketika mereka dikejar-kejar debt collector sementara duitnya ngga ada. Jody yang mengurus keuangan menawarkan beberapa opsi kepada Ben, tapi Ben sangat sombong, tak mau berkompromi, dan menolak semua tawaran Jody. 

Secercah harapan muncul ketika ada seorang Bapak kaya yang menantang Ben untuk membuat kopi terbaik di Jakarta, dengan imbalan uang 1 Miliar rupiah. Tergoda dengan hadiah uang dan merasa harga dirinya tersakiti, Ben pun menerima tantangan itu. Hari demi hari Ben lalui dengan berbagai eksperimen, hingga akhirnya ia berhasil meracik kopi terbaik di Jakarta. Ben senang, Jody apalagi. Akan tetapi, euphoria itu terhenti ketika El (Julie Estelle), seorang pakar kopi yang bersertifikasi internasional bilang bahwa Ben's Perfecto -- kopi terbaik bikinan Ben -- bernilai "not bad" saja, dan bahwa ia pernah mencoba kopi yang jauh lebih enak bernama Kopi Tiwus. Merasa tak terima, Ben mencari "pemilik" Kopi Tiwus untuk membuktikan kebenarannya. Tanpa disadari, perjalanan ini kemudian juga menjadi perjalanan Ben kembali ke masa lalu.

Iyee.. Kita buka 24 jam. Biar kayak Starbucks. - Ben
Berhubung faktor terbesar yang menarik perhatian gue tentang film Filosofi Kopi adalah segala marketing effort mereka -- yes aktornya ganteng-ganteng, tapi bukan mereka alasan utama gue penasaran banget sama film ini -- maka gue akan terlebih dahulu membahas cara mereka berpromo.

Rasa-rasanya ya, ini film Indonesia pertama yang promonya se-massive dan se-integrated ini. Selain itu, mereka juga serius banget menggarap digital mereka, dan gue salut untuk itu. Mereka bikin mobile apps, ajak user partisipasi. Mereka juga bikin kafe benerannya, bikin mobil keliling, bikin campaign on the road, dan bahkan sampe bikin workshop dan dateng ke kampus-kampus segala. Belum lagi iklan radionya yang bujubuneng sering banget. Gue bener-bener penasaran gimana impact promo sebesar ini ke angka penonton nantinya. Will it work?

Tapi yang gue sayangkan sebetulnya adalah, bagian terpenting dari film ini, the PoS (point of sales) materials-nya malah kurang digarap dengan baik. Poster dan trailer-nya kurang menjual menurut gue. Padahal itu adalah daya tarik terbesar dan terutama untuk penonton yang dateng ke bioskop dan ngga tau mau nonton apa. Karena kan ga semua orang update dengan film Indonesia terkini ya. Sayang banget.


Sementara untuk filmnya sendiri, it's a good movie. It's well made dan gue bisa melihat passion, cinta, dan totalitas para pembuatnya. But quoting El, "It's not bad. But I've tasted better," so have I. I've seen better fromAngga. But Filosofi Kopi is definitely good and worth to watch, even twice. 

Bermodalkan cerita pendek Dewi Lestari yang berjudul sama, hats off untuk penulis skripnya, Jenny Jusuf. Di tangan Jenny Jusuf dan Angga Sasongko, Filosofi Kopi menjelma menjadi novel-to-film terbaik karya Dewi Lestari. Pengembangan cerita dan karakter-karakternya solid banget. Dramanya pas dan bahkan ada selipan komedi yang bikin ngakak gila di beberapa scene. Setiap karakter juga punya background cerita yang menjawab pertanyaan "why" dari segala tindak tanduk mereka. Background ini bikin ceritanya jadi punya banyak layer

Tapi justru karena hal itu juga lah, beberapa bagian jadi terasa too much. Ada bagian -- terutama di pertengahan film -- yang menurut gue ngga perlu diekspos sepanjang itu. Ada beberapa tokoh yang ngga perlu diberi background cerita sedalam itu (misal: masa lalu El dan Tiwus). Bagian-bagian yang kepanjangan itu bikin emosi yang tadinya udah naik banget, jadi harus turun lagi karena gue jadinya malah kebosanan. 

Untungnya, karakter dan cerita yang udah susah payah dikembangin Jenny itu berhasil dimainkan dan dibikin hidup dengan sangat baik sekali oleh dua aktor utama kita, Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Chemistry mereka oke banget, beneran kayak bros yang udah sahabatan dari kecil. Tektokannya dapet, emosinya dapet, marah-marahnya dapet, dan penggambaran perbedaan karakter mereka kentara banget. Ben nyebelin, sementara Jody yang walaupun kerjaannya seringan marah-marah mulu, tapi tetep loveable

Selain Chicco, Rio, dan Julie (yang biasa aja btw), banyak juga pemain lain yang hanya tampil sebagai cameo di film Filosofi Kopi. Ada Tara Basro, Baim Wong, Verdi Solaiman, dan juga Joko Anwar serta Tanta Ginting yang singkat banget penampilannya, tapi bener-bener mencuri perhatian. Selain itu, Slamet Rahardjo sebagai Petani Kopi Tiwus juga meneduhkan dan ngemong banget. Jadi ngefans gue.


Buat gue, Filosofi Kopi adalah film tentang tentang ambisi dan cinta. Ini juga film tentang otak dan hati, yang kalo kata Jody, "ngga bisa bersatu". Tapi Angga Sasongko sebagai sutradara punya keduanya, sehingga dia berhasil bikin Filosofi Kopi jadi Angga's Perfecto. Tapi kalau saja beberapa scene yang ngga terlalu penting itu dipotong, film Filosofi Kopi buat gue bisa jadi kayak Kopi Tiwus buat El. Bikin hati hangat dan jadi yang paling enak di Indonesia.


Filosofi Kopi, now brewing in theaters near you.

Review: Tuyul part 1 (Billy Christian, 2015)

$
0
0

Buzz tentang film Tuyul part 1 udah lumayan lama hilir mudik di timeline gue. Mulai dari teaser poster, official poster, teaser, sampe trailer-nya muncul, banyak banget yang ngomongin film Tuyul ini. And they were all excited. Orang-orang tertarik karena Tuyul kelihatannya beda dari film horor Indonesia lainnya. Posternya menarik banget, bikin orang penasaran. Apalagi orang-orang Indonesia yang emang demen banget sama film horor, urban legend pula.

Akhirnya datang pula hari yang ditunggu-tunggu. Gue yang sebetulnya bukan penggemar horor karena takut pun akhirnya nonton karena penasaran juga. Apa ini cuma packaging-nya aja yang oke, atau filmnya beneran oke juga?


Premisnya standar horor. Pasangan muda, Mia (Dinda Kanya Dewi) dan Daniel (Gandhi Fernando), pindah rumah ke desa, dan ternyata rumah baru mereka ini ada tuyulnya. Surprise-surprise, yang ngelepas tuyul ngga lain dan ngga bukan ya mereka sendiri – ya namanya juga orang lagi beberes rumah ya, nemu botol kosong tersembunyi di bawah lantai ya dibuka, siapa tau bisa dipake buat ngisi kecap atau apa gitu kan ya.. #emakemakbanget

What stands out the most dari film Tuyul adalah production design-nya dan Dinda Kanya Dewi. Production design-nya bener-bener dipikirin, sehingga film ini visually pleasing banget untuk kategori film horor. Detail rumahnya superb. Walau creepy, tapi tetep cantik dilihat. Belum lagi penampakan Tuyulnya yang juga unik, ngga kayak tuyul-tuyul di film-film zaman dulu. Dan Dinda Kanya Dewi, mameeen.. Setelah lama ga muncul di layar lebar, Dinda Kanya Dewi keren banget di sini. Ekspresi ketakutannya pas, depresinya pas, sedihnya pun pas, bikin orang ikut merasakan apa yang ia rasakan. 

Sementara overall filmnya, well.. biasa aja menurut gue. It’s not bad, but it’s not special too. Menggunakan Tuyul instead of kuntilanak atau pocong yang udah terlalu mainstream, that’s a plus. Penggarapan yang baik dan ngga asal-asalan juga patut diapresiasi sekali. Tapi sayangnya, elemen paling penting yang harus ada dalam film horor malah kurang berhasil dibawakan dengan baik di sini. Cara munculin hantunya masih sama seperti kebanyakkan film horor Indonesia lainnya, dengan musik sebagai penanda. Alhasil, gue gagal dibikin takut.

Review: Tarot (Jose Purnomo, 2015)

$
0
0

Walau telah dikecewakan oleh Rumah Gurita akhir tahun kemarin, sebagai penggemar film-film horor bikinan Hitmaker Studios, gue tetep menonton film terbaru mereka, Tarot.

Berbeda dengan film-film Hitmaker sebelumnya yang berangkat dari urban legend, Tarot sepenuhnya adalah fiktif belaka. Bercerita tentang sepasang calon pasutri, Julie (Shandy Aulia) dan Tristan (Boy William) yang tak sengaja bertemu dengan seorang pembaca tarot di sebuah taman bermain. Ternyata, pembacaan nasib mereka berjalan kurang mulus, karena mereka diramalkan akan kedatangan tamu dari masa lalu yang sudah meninggal, dan akan mencabut nyawa salah satu dari mereka. Jeng jeng. Ternyata, masa lalu yang sudah meninggal tersebut adalah Sofia (juga diperankan oleh Shandy Aulia), saudara kembar Julie yang buruk rupa dan bunuh diri karena merasa dunia tidak adil padanya. Seperti biasa, mereka mencoba untuk tidak percaya, tapi apa daya, mereka bermain dalam film horor yang mengharuskan mereka dikejar-kejar oleh hantu dong pastinya.

Adegan opening Tarot sempat menciutkan harapan gue akan sesuatu yang lebih baik dari Rumah Gurita. Dengan tone warna oren-oren bikin sakit mata seperti yang ditampilkan di Rumah Gurita, plus adegan cipokan antara Boy William dan Shandy Aulia, gue sudah nyaris berpikir bahwa Tarot akan jadi sama buruknya seperti pendahulunya. Tapi gue salah. Tarot kembali seperti film-film Hitmaker sebelumnya: simpel, cantik, minim penampakkan hantu, dan..... yang paling gue seneng adalah: tidak ada lagi suara-suara penanda kemunculan hantu yang menjadi pembeda antara Hitmaker dan PH-PH lainnya! Yes! Hitmaker Studios kembali ke formula film-film pertama mereka, dan gue senang.

Tapiiiiiiiiiiiiiii. Seperti film-film Hitmaker sebelumnya juga, Tarot tetap memiliki kekurangannya (or should I say it's their characteristics?). Jalan cerita logis, tapi tindak tanduk Shandy Aulia tidak pernah logis. Ia selalu tampil berani. Mau dikerjain setan kayak gimana seremnya, dia tetap bisa menjalani hidup seperti biasa: masak, mandi di jacuzzi, sampai tinggal di rumah sebesar itu sendiri. Luar biasa. 

Sofia (kiri) dan Julie (kanan)
Dan omong-omong soal Shandy Aulia, di sini ia bermain sebagai cewek kembar, di mana yang satu adalah Shandy Aulia yang cantik seperti biasa, dan satu lagi jadi cewek jelek yang terus jadi hantu. Surprisingly, penampilan Shandy aulia jauhhhhhhhh lebih asik saat ia memainkan perannya yang ke-2. Gue sangat menikmati Shandy Aulia berperan sebagai cewek depresi yang penuh dendam, terus pas akhirnya ia mendapatkan kebahagiannya, ia jadi norak. Shandy Aulia tampil total jadi cewek galak, posesif, obsesif, penuh dendam, dan penuntut. Dia cocok banget memerankan peran seperti itu, karena peran Shandy Aulia yang cantik dan pemberani sudah terlalu biasa, kawan.

Walau masih bereksperimen dengan hal baru di luar horor -- di Rumah Gurita kemarin ada banyak elemen romansa, sementara kali ini ada unsur aksi di dalamnya -- dan feel horornya juga jauh berkurang dibanding 308 atau Mall Klender, gue cukup puas dengan hasil akhir Tarot. Tapi, itu ngga menutup rasa penasaran gue kenapa pas sama Denny Sumargo, pegangan tangan aja jarang, tapi pas sama Boy William, mereka demen bener bikin adegan cipokan. Ada apa kah gerangan?

Jeng jeng.

Review: Epen Cupen The Movie (Irham Acho Bachtiar, 2015)

$
0
0

Pertama kali melihat trailer-nya di Youtube beberapa waktu lalu, gue sama sekali tak berkeinginan untuk menonton Epen Cupen the Movie. Tapi entah mengapa, setelah menonton trailer yang sama untuk ke-2 kalinya (tapi kali ini di bioskop), film ini terlihat jadi lebih lucu dan "meminta" untuk ditonton. 

Epen Cupen the Movie adalah film yang diangkat dari sebuah Youtube series yang meng-highlight komedi ala Papua. Masih mengajak beberapa pemain aslinya dan beberapa stand up comedian Indonesia, Epen Cupen the Movie bercerita tentang Celo (Klemens Awi) yang tak sengaja terdampar di Jakarta karena mendapat tugas dari ayahnya untuk mencari saudara kembarnya yang hilang di medan perang. Dengan minimnya pengalaman dan pengetahuan, tentu banyak kejadian lucu yang terjadi kepada Celo yang tak pernah meninggalkan Papua sejak kecil. Belum lagi ia bertemu dengan Babe (Babe Cabita), pria Medan yang percaya ramalan dan terjerat utang karenanya. 

30 menit pertama film ini, bioskop dipenuhi tawa penonton yang disebabkan oleh kekocakkan Celo dan kawan-kawan. But you see, komedi is a matter of preference. Gue ikut ketawa di beberapa adegan, tapi tak sebanyak dan tak sampai tergelak seperti penonton lainnya yang nampaknya memang penonton setia Epen Cupen di Youtube. Tapi ya, 30 menit pertama memang memberikan lebih banyak kelucuan dibanding 65 menit sisanya. Dan kali ini, nampaknya penonton berselera sama seperti gue, karena di 65 menit itu, hanya sedikit tawa yang terdengar dari arah penonton.

Seperti Comic 8, selain komedi, Epen Cupen juga memiliki adegan aksi yang cukup heboh dengan parkour, tembak-tembakkan, dan bakar-bakaran. Dan semuanya disajikan dengan teknik slow motion untuk memberikan efek komedi tentunya. Dan surprisingly, dengan segala kekonyolan dan slapstick yang diberikan, adegan aksinya cukup berhasil buat gue.

Dari segi akting, tidak ada yang stand out. Bahkan Edward Gunawan yang bersinar di Street Society pun tak berhasil memberikan penampilan sebaik sebelumnya. Kalau di Street Society ia terlihat lepas, maka di Epen Cupen ia terlihat agak sedikit menahan diri.

Terlepas dari komedinya yang kurang cocok sama gue, tapi gue salut sama Epen Cupen the Movie. Upayanya membuat action comedy yang fresh dengan total patut diapresiasi. Semoga ke depannya lebih banyak lagi film action comedy Indonesia yang kece-kece. Amin!

Review: Cabe-Cabean (Endri Pelita, 2015)

$
0
0

Jadi ceritanya, gue sudah melihat trailer film Cabe-Cabean sejak tahun lalu. Katanya (kalo ngga salah inget), film ini mestinya tayang di bulan Mei atau Juni tahun lalu, saat cabe-cabean emang lagi hits-hitsnya. Tapi entah mengapa, film ini baru tayang Juni tahun ini, ketika cabe-cabean sudah tak lagi menunjukkan bijinya. #halah

Cabe-Cabean sendiri bercerita tentang tiga cewek cabe, Silvi (Ratu Intan), Indy (Ruby Susantyo), dan Suzan (Yuki Kato) yang sama-sama menyukai Derex (Cicio Manassero), jagoan balap bermuka datar yang katanya sih cool abitz gitu. Seperti bisa ditebak, persahabatan tiga cewek ini pun harus luluh lantak hanya karena cowok satu ini. Apalagi, Derex lebih memilih Suzan dibanding Silvi ataupun Indy.

Gue sama Indy udah siap jadi cabe. Tapi elo.. Elo engga, San! - Silvi

Ketika melihat trailer-nya tahun lalu, gue sangat bersemangat menantikan film ini (karena sebuah dialog singkat, norak, tapi sangat memorable dan membuat gue ngakak berkali-kali yang gue tuliskan di atas). Makanya, gue menunggu-nunggu jadwal tayangnya terus, dan terus bertanya, bertanya, dan bertanya.. Kapan ya film ini akan tayang? Dan kemarin ini, ketika akhirnya gue melihat jadwal tayangnya, gue girang bukan kepalang. Akhirnya tanggal yang gue tunggu-tunggu datang juga. 4 Juni 2015.

Eh tapi, ketika akhirnya gue menonton film ini di bioskop, gue kecewa banget sama Cabe-Cabean. You see, gue kangen sama film-film yang sangat absurd dan karena ke-absurd-annya itu, film tersebut bisa membuat lo tertawa terbahak-bahak dan terus membicarakan filmnya saking "hebatnya" film itu. Gue pikir, gue bisa mendapatkan itu dari Cabe-Cabean. Tapi ternyata... Cabe-Cabean dikemas dengan sangat biasa aja, layaknya film normal lainnya. Except.. Pengemasannya ngga menarik, membosankan, dan sok-sokkan dibikin rumit, bikin gue yang udah kecewa, jadi makin kzl nontonnya.

Ceritanya dibikin ala-ala multi-layer. Bukan cuma ada elemen cinta-cintaan dan persahabatan (yang bok ini aja udah ribet kan ya), pake ditambahin embel-embel balapan liar dengan motif yang ngga jelas, pencarian jati diri para cabe, hingga masalah keluarga (yang juga dikemas ala kadarnya banget). Hasil dari keruwetan ini bikin gue bingung. Ini film sebenernya mau bercerita tentang apa? Fokus ceritanya ngga kuat, disampaikannya pun scattered banget sampe gue ngga bisa menyambungkan benang merahnya. Alhasil, gue pun ngga peduli sama karakter maupun akhir dari ceritanya (yang mana sebenernya juga udah ketebak banget itu).

And don't get me on the acting side. Semua pemainnya ngga ada yang bisa akting -- kecuali Yuki Kato yang bahkan juga ngga membantu overall result-nya. Cicio Manassero datar parah, ngga terlihat meyakinkan sama sekali sebagai jagoan. Duo cabe lainnya juga cuma pasang muka jutek di sepanjang film, dengan harapan bisa jadi terlihat seksi (padahal mah meh). David John Schapps yang jadi Joe, kakaknya Suzan, walau cakep (dan ada adegan dia telanjang dada) sekalipun tetep ngga bisa mengubah muka masam gue jadi muka mesum. #eh

To summarize, gue kecewa. Sejak awal gue tau kalau film ini adalah film kacrut. Tapi tadinya, gue berharap film ini bisa jadi film kacrut yang menghibur. Namun kenyataan berkata lain.. Seandainya aja Endri Pelita dan istri membuat film ini dengan kekacrutan total, gue sangat yakin film ini bisa menjadi seperti Azrax yang diomongin banyak orang. Kacrut, tapi menghibur parah, dan memorable pastinya.

Film Lebaran 2015

$
0
0

Lebaran segera tiba dan it's the time of the year again! 15 Juli ini, bioskop-bioskop tanah air akan digempur oleh deretan film lebaran yang sudah dipersiapkan rumah-rumah produksi nasional. Ini summer box office-nya Indonesia, my friend! Apa saja line up tahun ini? Let's check it out!

Comic 8: Casino King
Tidak ada yang menduga bahwa pada tahun 2014, Comic 8 berhasil meraih jumlah penonton sebanyak itu (1.6 juta penonton) dan mencatatkan diri sebagai film Indonesia terlaris di tahun yang sama. Jadi ya, tak mengherankan kalau Falcon Pictures memutuskan untuk membuat sekuelnya, dengan harapan meraih jumlah penonton yang sama banyaknya tahun ini. Dan di seri ke-2 nya ini, kalau dilihat dari trailer-nya, Comic 8 yang diberi sub-judul Casino King kelihatannya dibuat dengan lebih mewah dan bombastis! Ga percaya? Cek trailer-nya langsung di bawah.


Produksi: Falcon Pictures
Produser: Frederica
Sutradara: Anggy Umbara
Penulis: Anggy Umbara, Fajar Umbara
Pemeran: Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop


Surga Yang Tak Dirindukan
Teaser poster-nya sempat menimbulkan kontroversi beberapa waktu yang lalu karena ada adegan Fedi Nuril memeluk Laudya Cynthia Bella dari belakang, padahal mereka bukan muhrim (ya namanya juga film kan ya, sis). Belum lagi posternya yang juga sepintas sangat mengingatkan gue akan poster film Ayat-Ayat Cinta. Tapi terlepas dari itu, trailer Surga Yang Tak Dirindukan karya MD Pictures ini terlihat sangat menarik buat gue, terutama Bella-nya yang sebelum ini tampil sangat memukau di Assalamualaikum Beijing. Lihat sendiri deh di bawah.


Produksi: MD Pictures
Produser: Manoj Punjabi
Sutradara: Kuntz Agus
Penulis: Alim Sudio, Team MD, Asma Nadia
Pemeran: Fedi Nuril, Laudya Cynthia Bella, Raline Shah


Lamaran
Di atas kertas, nama Monty Tiwa sebetulnya bisa menjadi jaminan bahwa film Lamaran akan menjadi film lebaran yang menyenangkan, sama seperti Aku, Kau, dan KUA yang sangat gue suka tahun lalu. Dari trailer-nya sendiri gue bisa melihat ada potensi film komedi yang lucu di sana. Tapi entah apa yang terjadi, trailer-nya tidak berhasil meyakinkan gue. Trailer-nya ngga berhasil "menjual" potensi itu. Trailer-nya terlalu rame dan ngga fokus. We'll see nanti lah ya, semoga memang salah bikin trailer aja. 


Produksi: Rapi Films
Produser: Gope T Samtani
Sutradara: Monty Tiwa
Penulis: Cassandra Massardi
Pemeran: Arie Kriting, Sacha Stevenson, Reza Nangin, Acha Septriasa, Cok Simbara, Mak Gondut, Wieke Widowati


Mencari Hilal
Sangat wajar kalau film yang tayang di periode lebaran adalah film-film yang berbau Islami. Tapi.. Buat gue, Mencari Hilal tampak terlalu "berat", yang malah membuat gue ngga mau menonton film ini karena gue ngga yakin gue bisa ngerti sama materi yang dibawakan. Film ini terlalu Islami, hingga bisa membuat yang non-muslim enggan untuk menginjakkan kaki ke bioskop dan menyempatkan waktu untuk menonton film ini. But that's just me, ga tau elo gimana...


Produksi: MVP Pictures, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi Film, Mizan Productions
Produser: Raam Punjabi, Hanung Bramantyo, Putut Widjanarko, dan Salman Aristo
Sutradara: Ismail Basbeth
Pemain: Deddy Sutomo, Toro Margens, Eryhrina Baskoro, Oka Antara

***

Itu dia empat film Indonesia yang akan tayang di Lebaran tahun ini. Mana yang bakal lo tonton duluan?
Viewing all 40 articles
Browse latest View live